http://ekbis.sindonews.com/read/1086583/34/menteri-jonan-resmikan-jalur-kereta-api-cianjur-sukabumi-1455856652
Menengok 'Jalur Maut' Saketi-Bayah
Beragam ekspresi diperlihatkan warga di sekitar Pasar Saketi,
Pandeglang, saat melihat rombongan "Napak Tilas Jalur Kereta
Saketi-Bayah" tiba di sana pada Senin, 21 September 2015. Ada yang
cemas, senang, pasrah, sinis, tak ramah, juga menutup diri saat disapa.
"Memang akan diaktifkan kembali ya keretanya. Kapan?" tanya seorang
pemilik warung dalam bahasa Sunda saat majalah detik singgah untuk
membeli minuman ringan.
Ia mengaku senang bila jalur kereta yang
dibangun pada masa pendudukan Jepang itu aktif kembali. Sebab, mobilitas
warga akan lebih mudah karena mendapatkan alternatif sarana
transportasi. Tapi di wajahnya juga tergores kecemasan akan nasib
keluarganya yang sudah berpuluh tahun menempati lahan milik PT Kereta
Api Indonesia. "Kira-kira kami dapat ganti rugi atau diusir seperti
warga Kampung Pulo di Jakarta?" si ibu kembali bertanya.
Jalur
Saketi–Bayah di Banten Selatan sepanjang 89 kilometer merupakan lintas
cabang dari lintas Rangkasbitung-Labuan. Jalur ini sudah tidak aktif
selama sekitar 60 tahun. Lahan maupun jalurnya sudah banyak yang rusak,
beralih fungsi, dan ditempati menjadi permukiman warga. Bangunan Stasiun
Saketi, misalnya, saat ini ditinggali dan dirawat oleh Mumu Mudjaya,
menantu mantan Kepala Stasiun Saketi, Jasuri. Sedangkan di sepanjang
jalur rel berdiri puluhan rumah warga dan pasar.
Jalur Saketi-Bayah (foto: Dikhy Sasra)
|
Menurut
mantan Ketua Indonesian Railway Preservation Society Aditya Dwi
Laksana, yang memandu acara Napak Tilas, pembangunan jalur rel kereta
sepanjang 89 kilometer dari Saketi ke Bayah dilakukan selama 14 bulan,
yakni mulai Februari 1943 hingga Maret 1944. Puluhan ribu romusa yang
didatangkan dari Purworejo, Kutoarjo, Purwodadi, Semarang, dan
Yogyakarta dikerahkan untuk pembangunan proyek tersebut.
Jepang
membangun jalur ini untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar kereta api dan
kapal laut. Di Bayah terdapat lokasi tambang batu bara yang belum
dieksplorasi oleh Belanda. Potensinya 20-30 juta ton dengan ketebalan 80
sentimeter. "Mulai 1 April 1943, Jepang mengeksploitasi tambang batu
bara lewat perusahaan Sumitomo," ujarnya.
Saat tiba di Bayah, majalah detik bersama rombongan Napak
Tilas, yang berjumlah 50 orang, tak melihat lagi sisa bangunan bekas
stasiun di sana. Area stasiun telah berubah menjadi lapangan sepak bola
dan sekolah dari tingkat dasar hingga menengah atas. Permukiman warga
pun umumnya sudah dibangun permanen. Dari jarak sekitar 200 meter, debur
ombak Samudra Hindia jelas terdengar dan terlihat putih
bergulung-gulung.
Jalur Rel mati (foto: Dikhy Sasra)
|
Di
Malingping, pertengahan antara Saketi dan Bayah, pun kondisinya nyaris
serupa. Yang tersisa di sana tinggal fondasi bekas peron stasiun dengan
beberapa pohon kelapa tumbuh di sana. Sementara itu, sekeliling area
bekas stasiun sudah sejak berpuluh tahun menjadi lahan persawahan.
Meski
begitu, sejumlah tokoh masyarakat di sana menyampaikan harapan agar
jalur kereta api Saketi-Bayah bisa diaktifkan kembali. Bukan sekadar
untuk nostalgia, tapi memang bisa menjadi alternatif kendaraan yang
lebih murah dan cepat ketimbang lewat jalan raya.
"Jadi, kalau
bagi kami, sih, kunjungan Bapak-Ibu sekalian sebaiknya tidak sekadar
napak tilas, tapi apa yang diperjuangkan setelah itu. Kami senang sekali
bisa jalur ini bisa hidup lagi," kata Sekretaris Camat Bayah Ali
Rachman.
Kepala Laboratorium Transportasi Universitas
Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, yang turut dalam rombongan
Napak Tilas, menilai tuntutan semacam itu tidak berlebihan. Sebab, di
dekat Pulau Manuk, Bayah, kini telah berdiri pabrik Semen Merah Putih,
ada perkebunan sawit di jalur Saketi-Malingping, serta obyek wisata
Sawarna sekitar 8 kilometer dari Bayah. "Reaktivasi jalur-jalur kereta
api yang melintasi kawasan pedesaan seperti Saketi-Bayah ini pada
gilirannya akan menghidupkan roda perekonomian di pedesaan," ujarnya.
Foto: Dikhy Sasra
|
Selain
jalur Saketi-Bayah, masih ada jalur lintas Rangkasbitung-Labuan sejauh
56 kilometer, yang menurut Djoko mendesak untuk diaktifkan kembali. Dulu
di jalur ini, puluhan kilogram ikan dari Labuan diangkut menuju Stasiun
Tanah Abang, yang berjarak 129 km. Dari Tanah Abang, kereta biasanya
mengangkut garam untuk keperluan pembuatan ikan asin di Labuan. Labuan
sebagai penghasil ikan dapat menjadi pemasok konsumsi ikan bagi warga
Jakarta.
Di jalur Rangkasbitung-Labuan terdapat Stasiun
Pandeglang, Saketi, dan Menes. Kondisi stasiun tersebut masih berwujud
bangunan, meski tidak seutuh seperti dulu.
"Dengan diaktifkannya jalur ini, dapat diteruskan ke lintas cabang dari Saketi ke Bayah sejauh 89 km," kata Djoko.
Di
samping itu, di dekatnya sudah dikembangkan kawasan industri dan
pariwisata Tanjung Lesung yang cukup terkenal. Selain rencana membangun
jalan tol dari ruas Jakarta-Merak, tidak ada salahnya dibangun pula
jalan rel dari Labuan atau Menes.
Tersedianya jalan rel menuju
Tanjung Lesung cukup mendukung distribusi barang dan pengembangan
pariwisata di Provinsi Banten. Dengan mengaktifkan jalan rel, ada
alternatif mobilitas bagi warga selain melalui jalan raya.
Hanya,
dalam Rancangan Induk Perkeretaapian Nasional yang disusun Departemen
Perhubungan pada 2011, tidak dicantumkan jalur Saketi-Bayah untuk
diaktifkan kembali. Rancangan itu hanya mencantumkan 12 jalur kereta api
mati yang akan diaktifkan kembali, yaitu jalur
Sukabumi-Cianjur-Padalarang, Cicalengka-Jatinangor-Tanjungsari,
Cirebon-Kadipaten, Banjar-Cijulang, Purwokerto-Wonosobo,
Kedungjati-Ambarawa, Jombang-Babat-Tuban, Kalisat-Panarukan,
Semarang-Demak-Juana-Rembang, Madiun-Slahung, Sidoarjo-Tulangan-Tarik,
dan Kamal-Sumenep.
http://news.detik.com/berita/3030879/menengok-jalur-maut-saketi-bayah/1
Penyebab Jalur KA Bogor-Sukabumi Longsor karena Tanah Labil
Senin, 21 Maret 2016 — 18:53 WIB
Jalur KA longsor sehingga perjalanan KA Bogor-Sukabumi terhenti
BOGOR (Pos Kota) – Penyebab jalur Kereta Api Diesel (KRD)
Parahyangan jurusan Bogor-Sukabumi longsor diduga kuat karena konstruksi
tanah wilayah Cigombong yang labil tidak kuat lagi menahan gempuran
hujan dalam intensitas tinggi.
Tanah amblas terjadi di perlintasan kereta api Bogor-Sukabumi ini
berada di KM 11+9 tepatnya di Cigombong, Kabupaten Bogor. Pelayanan KRD
Bogor-Sukabumi sudah dihentikan selama tiga hari kedepan.
Darmin, Kepala Stasiun Besar Bogor mengatakan, perjalanan kereta api
Bogor-Sukabumi dibatalkan semua, akibat longsor pada bantaran rel.
“KRD Parahyangan jurusan Bogor-Sukabumi tiga hari kedepan tidak beroperasi,”kata Darmin saat ditemui di Bogor, Senin (21/3).
Ia mengaku, proses perbaikan dilakukan dengan melibatkan bantuan dari berbagai instansi.
Darmin berharap, proses perbaikan bisa lebih cepat selesai. Hal ini agar masyarakat tidak dirugikan dalam waktu lama.
Sebanyak 50 orang bekerja di lokasi untuk proses perbaikan rel. Mereka dibantu alat berat yang di turunkan ke lokasi.
Walau demikian, Darmin mengaku, memperbaiki rel kereta itu tidak bisa
cepat. Perbaikan bantalan rel, harus maksimal dan harus di jamin
benar-benar aman, saat di lintasi usai diperbaiki.
“Jalur perlintasan kereta api Bogor-Sukabumi memang rawan longsor.
Sehingga perlu perhatian lebih demi keselamatan penumpang. Jalur ini
berbeda dengan perlintasan di daerah lain. Tanah di jalur ini labil,
sehingga rawan terjadi longsor,”paparnya.
Akibat pembatalan pada hari Senin (21/3) ini, lanjut Darmin,834 tiket yang sudah terjual, harus di kembalikan.
“Rincian 834 tiket ini yakni, 248 tiket dengan penumpang untuk tiga
kali pemberangkatan dari Bogor menuju Sukabumi. Lalu 586 tiket dari tiga
kali pemberangkatan Sukabumi menuju Bogor. Seluruh tiket kami ganti
utuh,”ujarnya.
Ia menegaskan, tanah di perlintasan. KRD amblas pada Minggu (20/3)
malam.Penumpang setia kereta api, langsung mendapat pelayanan
transportasi pengganti lewat jalur darat.
http://poskotanews.com/2016/03/21/penyebab-jalur-ka-bogor-sukabumi-longsor-karena-tanah-labil/